Media Indonesia Senin 9 Juni 2008
Kepemimpinan Sekolah Efektif
Oleh Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayayan Sukma Jakarta
"Kepemimpinan adalah sebuah kombinasi antara strategi dan karakter. Jika Anda hams bertindak tanpa salah satu dari keduanya, lebih baik bertindak tanpa strategi."
(H Norman Schwarzkopf)
PENELITIAN tentang efektivitas sekolah merupakan wilayah yang tumbuh dan berkembang pesat dalam dua dekade terakhir ini, di negara-negara maju seperti America dan Inggris maupun negara-negara berkembang. Beberapa temuan dari studi ini, misalnya yang ditulis Reynolds et al (1999) dalam Improving Schools: Performance and Potential yang menyebutkan pentingnya memerhatikan sikap dan gaya kepemim-pinan sekolah yang efektif dan mudah di contoh oleh para kepala sekolah di manapun mereka berada. Beberapa temuan penting lainnya dari studi tentang kepemim-jinan sekolah yang efektif juga digambar-an secara baik dalam studi Teddlie dan Stringfield (1993), yang melukiskan effective school leader akan rnembawa keseimbangan ialam proses operasional sekolah, bagaimana kurikulum dikembangkan, dan melibatkan hampir seluruh pemangku kepentingan sekolah dalam merancang dan mengambil suatu keputusan dengan penggunaan hierarki dan birokrasi tidak serta-merta menyulitkan kepemimpinan sekolah untuk menggunakan struktur formal dan informal dalam rangka memberikan reaksi terhadap faktor luar sekolah yang selalu perubah. Pertanyaan fundamental terhadap kondisi persekolahan di Indonesia adalah bagaimana cara kita memperoleh karakteristik kepemimpinan sekolah yang efektif dalam perspektif sistem pendidikan nasional?
Delapan karakter
Beberapa penelitian penting dalam pengembangan kepemimpinan sekolah berkualitas menyebutkan setidaknya ada delapan karakter dasar bagaimana effective school leader dapat tumbuh dan berkembang. Pertama, seorang kepala sekolah harus menyadari pentingnya menjaga visi dan misi sekolah yang dirumuskan secara bersama. Dalam banyak kasus, sekolah-sekolah di Indonesia jarang sekali melakukan perumusan visi-misi sekolah secara bersama. Padahal, kemampuan kepala sekolah dalam memimpin dan menjaga visi, misi,, dan tujuan sekolah sangat dibutuhkan dalam rangka mengakomodasi kebutuhan internal dan eksternal sekolah. Sebuah kemampuan manajerial berkesinambungan yang selalu memerhatikan aspirasi atas bawah seluruh pemangku kepentingan sekolah (Murphy and Louis, 1994). Kedua, kemampuan mengembangkan kemampuan partisipatif guru dan siswa. Peranan kepala sekolah sebagai seorang manajer sekaligus fasilitator harus mengemuka pada tahap ini. Indikasi kuat sebuah kepemimpinan sekolah yang efektif dapat tergambar dari seberapa besar partisipasi guru dalam menyemai proses pembentukan budaya sekolah yang positif bagi pengembangan bakat dan minat siswa serta prinsip-prinsip share-leaders dibangun dengan penuh kepercayaan dan kesadaran (Teddlie and Stringfield, 1993). Karakter ketiga yang patut dijadikan indikator kepemimpinan sekolah yang efektif adalah kepedulian kepala sekolah terhadap proses pengajaran. Paradigma tentang instructional leadership harus terus dikembangkan seiring dengan berkembangnya metodologi pengajaran yang inovatif dan menyenangkan. Karakter ketiga itu merupakan sepertiga indikator keberhasilan kepemimpinan sekolah yang efektif (Levine, 1990). Dalam praktiknya, itu adalah kewajiban dari kepala sekolah untuk secara rutinber-kunjung ke kelas-kelas, memantau sekaligus membimbing para guru dan siswa untuk terlibat aktif dalam proses pernbelajaran. Menjadi partner dalam sebuah proses pembelajaran kolaborasi adalah bukti lain dari sifat dan karakter kepala sekolah yang peduli pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas.
Direct monitoring adalah karakter keempat yang dibutuhkan seorang kepala sekolah. Kemampuan mengelola sumber informasi pembelajaran melalui personal monitoring merupakan kelengkapan manajerial sekolah berciri efektif. Bahasa birokrasi negeri ini menyebutnya dengan inspeksi mendadak (sidak), sebuah kemampuan mendeteksi persoalan secara natural yang disebut Peter and Waterman (1982) sebagai 'management by wandering around'. Jika proses itu berlangsung efektif, dapat dipastikan, sekolah tersebut berpotensi untuk mengembangkan budaya sekolah yang positif.
Ciri kelima dari sekolah yang efektif adalah adanya kebijakan yang transparan dan terbuka dalam proses seleksi atau rekrutmen guru dan tenaga administratif sekolah. Jika proses seleksi memiliki standar baku dan metode yang terukur dan terencana dengan baik, dapat dipastikan, sekolah tersebut memiliki kesadaran yang sungguh-sungguh terhadap pentingnya standardisasi mutu guru dan sumber daya kependidikan sekolah yang baik. Dalam perspektif admirustrasi sekolah, prinsip-prinsip hands-on staffing juga diperlukan untuk melihat bagaimana tipologi pemantauan dan supervisi kelas akan dijalankan, dukungan dinas pendidikan terhadap kemampuan mengajar guru dengan cara memberikan in-service training program dan sertifikasi serta kemampuan mengelola konflik dan pembagian waktu belajar secara benar.
Fokus terhadap pentingnya proses dan capaian dalam bidang akademis juga memiliki korelasi yang signifikan terhadap kepemimpinan sekolah yang efektif. Meskipun ujian nasional saat ini masih merupakan satu-satunya alat kelulusan siswa, bukan berarti seluruh orientasi akademis sekolah harus mengarah pada rujuan tersebut. Tugas seorang pemimpin sekolah adalah bagaimana membangun kesadaran akan pentingnya budaya akademis sekolah yang sehat, membangun komitmen terhadap prinsip-prinsip belajar tuntas yang berpusat pada anak didik (mastery of central learning skills), dan membangun basis pengembangan kurikulum yang pro pada kemampuan bakat dan minat siswa yang beragam dan pluralis. Orientasi akademis seperti itulah yang merupakan karakter keenam dari tujuan kepemimpinan sekolah yang efektif (effective school leader objectives).
Aspek atau karakter ketujuh adalah pentingnya menumbuhkan rasa percaya diri dan kebanggaan komunitas sekolah terhadap sekolahnya. Harapan yang tinggi (high expectation) terhadap visi, misi dan tujuan sekolah harus diterakan pada seluruh benak komunitas sekolah. Dalam praktiknya, proses ini mengharapkan seluruh civitas academica sekolah terlibat secara langsung dalam perumusan kebijakan sekolah, mulai dari manajemen kelas hingga membangun hubungan baik dengan seluruh komunitas sekolah. Sementara itu, dari perspektif kepala sekolah, membangun rasa percaya diri komunitas sekolah dapat dimulai dengan mengawal integritas ruang belajar/kelas (guard the integrity of the classroom) agar lebih variatif, inovatif, dan kaya akan metodologi pengajaran (Teddlie et al, 1989).
Karakter terakhir, kedelapan, adalah sistem pemantauan dan evaluasi yang dipilih dan akan digunakan sekolah dalam rangka mengukur tingkat kemajuan siswa, guru, orang tua siswa, dan manajemen sekolah. Pada setiap jenjang, proses pemantauan dan evaluasi memang bermuara pada hasil kerja siswa (student achievement). Namun, kepemimpinan sekolah yang efektif juga harus dapat merumuskan sistem pemantauan dan evaluasi yang dapat mengukur tingkat kemampuan guru, partisipasi masyarakat, dan manajemen sekolah sekaligus (Murphyis: 1990).
Isu yang belum terpecahkan
Dalam konteks sistem pendidikan nasional, rasanya amat sulit mengidentifikasi kepemimpinan sekolah efektif dengan menggunakan delapan standar karakter di atas. Contoh sederhananya adalah bagaimana kriteria pengangkatan kepala sekolah dilakukan oleh pengelola sekolah. Isu adanya suap terhadap pengangkatan kepala sekolah negeri di setiap provinsi dan kabupaten sangat kuat mengemuka karena jabatan kepala sekolah tidak lahir dari kebutuhan sekolah dan usul masyarakat yang diwakili komite sekolah, namun menjadi kebijakan dinas pendidikan kota/kabupaten. Karena itu sangat sulit rasanya menciptakan gaya kepemimpinan sekolah yang efektif selama proses rekrutmen tenaga kependidikan masih dilakukan dengan pola tertutup dan tidak transparan.
Belum lagi tingkat kepedulian masyarakat terhadap sekolah juga sangat rendah, terutama sejak keluarnya Inpres SDN No ' 10/1973 yang merupakan titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di Tanah Air. Pemerintah seolah telah mengambil alih 'kepemilikan' sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratis bahkan sentralistis. Dalam penelitian Grey (1999), ketiadaan transparansi dalam proses rekrutmen tenaga kependidikan dapat menyebabkan rendahnya mutu lulusan sebuah sekolah. Karena itu, dalam upaya mempercepat arah desentralisasi dan otonomi bidang pendidikan, kebijakan tentang pola rekrutmen kepala sekolah harus dipikirkan secara komprehensif, melibatkan perguruan tinggi, dan badan independen lainnya yang peduli terhadap kualitas pendidikan nasional. Sebagai bentuk lain dari micro-political skills, kepemimpinan sekolah yang efektif menyaratkan intervensi politis yang efektif guna menciptakan sistem pendidikan nasional yang sehat dan bertanggung jawab.
Comments |
|
|
|
|
|
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...