Page 7 of 12
Pembangunan pendidikan saat ini mengalami perubahan sistem yang mendasar. Pembangunan pendidikan kita tidak bisa dilepaskan dari pembangunan secara utuh. Pendidikan harus memberikan sumbangan bagi pembangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu pendidikan harus mampu merubah struktur masyarakat yang statis ke arah sistem sosial yang dinamis. Pendidikan harus mempengaruhi, merombak, mengubah, dan membentuk lembaga-lembaga sosial-kultural. Pendidikan harus mendorong sikap individual ke arah efektivitas, integritas, dan sikap komunal ke arah rasionalitas dan fungsional. Sehingga pendidikan mampu berpengaruh secara inovatif terhadap kondisi-kondisi kemasyarakatan yang menghambat perkembangan pembangunan. Oleh karena itulah pembangunan pendidikan merupakan bagian sistem pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan demikian kebijakan mengenai pendidikan selalu terkait dengan kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan pembangunan nasional melalui Undang-Undang No 22 tahun 2000, mengamanatkan adanya perubahan yang mendasar akan sistem pemerintahan, yaitu dari sentralisasi menjadi otonomi daerah. Kebijakan ini berimplikasi secara meluas juga pada bidang pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan juga diarahkan pada desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan. Otonomi pendidikan memberi peluang berkembangnya program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah. Pemerintah pusat sebagai lembaga pemerintah hanya berfungsi sebagai pembuat standar, pedoman, pemantau dan fasilitator untuk memaksimalkan semua potensi daerah masing-masing. Otonomi pendidikan pada dasarnya adalah usaha mendekatkan pengambilan keputusan program terhadap sasaran program, upaya untuk memberdayakan masyarakat pada skala mikro dengan tingkat pengambilan keputusan program pada level sasaran program. Tidak lagi pemerintah pusat intervensi dalam mengembangkan program. Pemerintah daerah seharusnya melakukan perencanaan pendidikan dengan berdasarkan asumsi potensi dan masalah yang ada di masyarakatnya. Peran Pemerintah daerah Kab/Kota dalam mengelola pendidikan sangat menentukan keberhasilan programnya.
Budaya Baca Masyarakat Untuk Mendukung Peningkatan SDM
Salah satu ciri perwujudan masyarakat belajar (learning society) adalah terwujudnya masayarakat gemar membaca, atau dengan kata lain membaca menjadi aktivitas utama setiap anggota masyarakat dalam masyarakat belajar. Sudah sangat lama bangsa Indonesia menginginkan terwujudnya budaya membaca di kalangan masyarakat. Namun ternyata sampai dengan usia kemerdekaan yang hampir 60 tahun, budaya membaca itu belum nampak terwujud. Kebisaaan membaca hanya menjadi perilaku sebagian kecil dari komunitas kaum terpelajar dan mereka yang sejak lama memang telah mempunyai tradisi gemar membaca dari keluarganya. Pada sebagian besar masyarakat Indonesia membaca lebih dirasakan sebagai beban daripada sebagai sebuah kegiatan yang banyak bermanfaat
Dengan situasi demikian, maka pewujudkan masyarakat belajar yang ditandai dengan tampilnya budaya membaca, nampaknya masih perlu diupayakan dengan berbagai cara. Bagi jajaran Departemen Pendidikan Nasional, lahirnya sebuah prototype masyarakat yang memiliki budaya membaca yang baik, merupakan salah satu komitmen yang ingin selalu diperjuangkan. Sungguh mudah untuk membuat sebuah pemahaman bahwa membaca merupakan sebuah aktivitas utama dalam pembelajaran dan pendidikan. Tanpa hadirnya aktivitas membaca sebagai sebuah perilaku budaya yang terlembagakan, maka proses pendidikan dan pembelajaran akan banyak mengalami kendala. Secara sosio-psikologis, orang melakukan aktivitas membaca pasti dengan alasan, tujuan, dan makna yang berbeda-beda, di mana hal itu tergantung pada banyak hal. Salah satu factor penentu variabilitas alasan, tujuan, dan makna membaca adalah karakteristik pribadi dan karakteristik sosiologis personal.
Secara opsional variasi alasan, tujuan, dan makna membaca dapat dibedakan, antara lain sebagai berikut; (1) sebagai bentuk pelaksanaan tugas utamanya, misalnya para redaktur surat kabar, pada editor dan penyunting buku, para sekretaris yang membaca draft-draft surat, kontrak, dan sebagainya, (2) sebagai cara memperoleh pengetahuan. Hal ini terjadi pada para pelajar, mahasiswa, akademisi, dan sebagian besar orang yang membutuhkan ilmu pengetahuan dari buku, (3) sebagai cara untuk menjaring informasi bagi pelaksanaan dan keberhasilan pekerjaan atau aktivitas lainnya, misalnya terjadi pada para pelaku dagang untuk mencari informasi tentang harga barang, nilai uang, distribusi barang, kebijakan tata niaga, dan sebagainya, (4) sebagai cara mengisi waktu luang, (5) sebagai hobi atau kegemaran.
Di antara berbagai alasan, tujuan, dan makna membaca tadi, pada umumnya masyarakat Indonesia melakukan aktivitas membaca lebih didorong karena alasan melaksanakan tugas dan memperoleh pengetahuan. Sedangkan yang melakukan aktivitas membaca demi alasan mencari ilmu pengetahuan, hobi, serta mengisi waktu luang belum banyak terjadi. Apabila sebuah aktivitas membaca sudah menjadi bagian dari perilaku budaya (berbudaya membaca) maka alasan untuk mencari ilmu, hobi, dan mengisi waktu luang tentu harus lebih dominan daripada demi alasan melaksanakan tugas atau alasan memperoleh ilmu pengetahuan. Kemanakah sebenarnya budaya membaca akan kita kembangkan? Bagaimanakah sebenarnya prototype masyarakat yang sudah berbudaya membaca? Apabila budaya membaca belum berkembang pada bangsa Indonesia. Tentu hal ini ada sebab-sebab atau faktor yang mempengaruhinya.
Pertama, secara kultural, masyarakat Indonesia memang tidak memiliki tradisi membaca sejak jaman nenek moyang. Sebagaimana bisa ditelusur melalui literatur-literatur yang ada, perilaku membaca masyarakat Indonesia hampir dapat dikatakan “tidak ada”. Hal ini bisa dibuktikan dengan tiadanya artefak tulisan dalam jumlah yang banyak. Artefak tulisan hanya bisa ditemukan pada prasasti-prasasti berbahan baku batu atau tulisan kuna yang ditorehkan pada daun lontar, kulit binatang, atau pada kulit kayu. Dengan bahan baku demikian maka jumlahnya tidak bisa banyak (tidak massal). Situasi ini atau mungkin juga karena sebab lain, pada hampir seluruh etnis di Indonesia ini berkembang budaya lisan (folklore). Betapa mudah budaya (bahkan sastra) lisan bisa ditemukan di segenap penjuru tanah air. Segenap dongeng-dongen, mitos, fabel, puisi, pantun, petatah-petitih, peribahasa, syair, dan cerita rakyat dituturkan secara lisan, tanpa ada naskah tetulisnya. Bahkan ada satu karya budaya bangsa Indonesia yang hampir sepenuhnya tidak boleh dituliskan, tetapi hanya boleh dihafalkan ecara lisan, yaitu mantra-mantra. Pada sebagian etnis masyarakat Indonesia, mantra-matra untuk upacara agama, pengobatan, atau aktivitas budaya lainnya sangat banyak jenisnya. Hampir semuanya diwariskan melalui transfer secara lisan. Bahkan memang tidak boleh ditulis, termasuk direkam menggunakan tape recorder atau audio-vidio recorder. Dengan situasi budaya lisan ini maka mengembangkan budaya baca membutuhkan strategi yang khusus.
Kedua, berkembangnya budaya dengar (audio) dan video melalui teknologi informasi pada abad 19. Dengan hadirnya era teknologi informasi, masyarakat Indonesia yang baru belajar membaca, telah teralihkan perhatiannya kepada perilaku budaya pandang dan dengar, yaitu melalui media televisi dengan berbagai variannya. Dibanding aktivitas membaca, aktivitas mendengar (radio), dan aktivitas mendengar dan melihat (televisi, film, VCD dengan berbagai variannya) memang jauh lebih menarik dan lebih ringan dalam pengeluaran energi. Siuasi budaya dengan dan lihat ini telah lebih menjauhkan masyarakat Indonesia untuk berperilaku membaca. Membaca memutuhkan waktu yang khusus, membutuhkan kesipan indera secara khusus secara terkonsentrasi, dan membutuhkan prasyarat kemampuan yang relatif rumit (yaitu kemampuan keaksaraan, kebahasaan, tata bahasa, dan pemaknaan). Kecenderungan masyarakat saat ini lebih suka menonton TV atau VCD/DVD jika dibandingkan dengan membaca buku karena hal itu tidak terlepas dengan gencarnya siaran TV swasta dan TVRI yang menayangkan tontonan yang lebih menarik, ringan, dan menikmatkan pemirsanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tayangan televisi dapat mempengaruhi terhadap rendahnya minat baca. Menonton TV akan lebih santai karena dapat mengerjakan hal-hal yang ringan sambil menikmati sajian TV. Siaran TV dan VCD lebih menawarkan berbagai tayangan yang variatif, mulai dari hiburan, berita ringan, gosip, hal-hal yang irasionil, sampai berita yang dapat dilihat secara live. Sedangkan membaca buku lebih cenderung konsentrasi dan tidak dapat dilakukan sambil mengerjakan sesuatu yang lain. Membaca buku harus lebih tenang, sabar, dan bahkan dibaca secara perlahan dan berulang-ulang. Energi yang dibutuhkan untuk membaca lebih besar dibandingkan menonton TV atau VCD. Hampir semua orang sependapat bahwa nonton TV atau VCD lebih enak dibandingkan membaca. Alasannya sederhana, nonton TV atau VCD lebih mudah dan menarik. Itulah sebabnya TV dan VCD berkembang jauh lebih pesat dibandingkan perkembangan percetakan buku.
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...