Article Index |
---|
Buta Huruf dan Kesejahteraan Rakyat |
Page 2 |
All Pages |
Buta Huruf dan Kesejahteraan Rakyat
Oleh
Jafar Fakhrurozi
Perkembangan informasi yang kian mengglobal hanya dapat diakses melalui budaya literat. Maka, sangat mengenaskan jika sekarang ini tingkat buta huruf di dunia, khususnya di negara-negara miskin, masih tinggi. Berdasarkan data dari UNESCO, di antara tujuh orang terdapat satu orang yang tidak mampu membaca dan menulis.
Di antara keseluruhan penduduk dunia yang berjumlah enam miliar, terdapat 800 juta orang dewasa yang buta huruf, dan dua pertiga di antara mereka adalah perempuan. Sementara itu, terdapat 100 juta anak usia sekolah yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah. Adapun di negara kita pada tahun 2003 jumlahnya mencapai 5,39 juta orang. Dari jumlah itu, penduduk usia 10-44 tahun yang buta huruf diperkirakan mencapai 3,62 persen atau 2,80 juta penduduk, sedangkan usia 44 tahun ke atas mencapai 2,59 juta orang dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.
Angka-angka di atas tidak penting jika hanya menjadi pajangan di museum Balitbang. Dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi persoalan besar ini jika Indonesia tidak ingin tertinggal. Maka, salah satu kuncinya adalah dengan memosisikan sektor pendidikan sebagai yang paling utama di antara sektor lainnya. Wujudnya adalah dengan merealisasikan 20 persen anggaran pendidikan dari APBN dan APBD sesuai dengan konstitusi yang telah ada. Selama ini pemerintah terlalu banyak memprediksi atau membuat target yang bersifat abstrak. Tahun 2009, pemerintah memiliki target merealisasikan 20 persen anggaran pendidikan, tahun 2015 memusnahkan buta huruf, dan sekian target lain yang sebetulnya semakin mengurangi kepercayaan masyarakat akan kinerja pemerintah.
Mahalnya biaya pendidikan hari ini sudah jelas mempersempit akses masyarakat, khususnya masyarakat miskin, untuk menikmati pendidikan. Kejar Paket A dan Paket B yang merupakan alternatif sekolah murah pun keberadaannya kembang kempis. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) memang sangat membantu bagi anak-anak miskin untuk bisa bersekolah, tetapi di lapangan ternyata masih banyak kebocoran atau korupsi. Maka, sia-sialah usaha mulia tersebut.
Bergabungnya Indonesia dengan komunitas Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang memasukkan sektor pendidikan ke dalam perdagangan jasa sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Pendidikan sebagai komoditas hanya akan melahirkan kesenjangan pendidikan karena kebijakan memandirikan perguruan tinggi, misalnya, secara jelas mengakibatkan semakin mahalnya biaya masuk kuliah. Akhirnya, hanya orang-orang yang berduit yang bisa kuliah.
Dokumentasi realitas tersebut cukup memberikan kesimpulan bahwa jika Indonesia masih dibayang-bayangi kolonisasi ekonomi oleh negara kapitalis asing, sepertinya kemajuan pendidikan nasional hanya menjadi wacana yang ramai dibicarakan dan tidak berakhir pada solusi.
Dua tugas
Sejak dekade 1970-an, berbagai gerakan memberantas buta huruf dilakukan negara-negara miskin. Namun, banyak di antara negara- negara itu gagal menuai hasil dengan alasan krisis ekonomi dan peperangan. Akibatnya, sampai hari ini masalah-masalah yang amat fundamental seperti kesejahteraan dan keterbelakangan sosial menjadi penyakit kronis yang diidap negara miskin.
Indonesia tak jauh beda posisinya. Jangankan untuk menggratiskan pendidikan, menangani busung lapar pun sulit. Padahal, seharusnya tingkat kesejahteraan secara ekonomi berkorelasi positif dengan kemajuan pendidikan. Pendidikan adalah mencerdaskan manusia. Orang cerdas pasti tahu apa yang harus dia lakukan untuk menyejahterakan dirinya. Nah, jangan-jangan memang sistem pendidikan nasional kita yang tidak jelas ruhnya, dan tidak visioner bagi kemajuan peradaban bangsa kita yang sarat potensi.
Selain itu, angka pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia yang tinggi tidak diimbangi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi menjadikan masalah bertambah kompleks. Pemberantasan buta huruf harus diringi dengan usaha memperkecil angka pertumbuhan jumlah penduduk. Lantas, Indonesia mau bagaimana?
Pemberantasan buta huruf membutuhkan anggaran dana yang sangat besar. Sejatinya tak ada lagi pemandangan ironis seperti yang masih tampak hari ini-anggota dewan masih senang jalan-jalan ke luar negeri dengan alasan tugas negara, militer senang berperang dengan alasan terorisme atau pemberontakan, serta contoh lain yang cenderung mengakibatkan kecemburuan dan cukup menyesakkan hati-jika kita melihat juga realitas masyarakat Indonesia yang tak bisa membaca, miskin lagi.
Maka, momentum Hari Aksara Internasional harus dijadikan ajang penguatan opini publik tentang isu pendidikan untuk semua (education for all) yang telah dicanangkan sejak Konferensi Pendidikan di Jomtien, Thailand, pada tahun 1990, lalu dikuatkan kembali oleh Forum Pendidikan di Dakkar pada tahun 2000. Hasilnya meliputi perencanaan pendidikan untuk semua di tingkat nasional sebagai bagian dari perencanaan pendidikan nasional (target 2002), mengurangi kesenjangan jender di pendidikan dasar dan menengah (2005), memastikan bahwa semua anak-khususnya anak perempuan- berkebutuhan khusus, dan anak dari etnis minoritas memiliki akses terhadap pendidikan yang memadai, berkualitas, dan gratis (2005), mencapai peningkatan 50 persen peningkatan melek huruf-khususnya untuk perempuan-dan akses yang memadai bagi orang dewasa untuk melanjutkan pendidikan serta mencapai kesetaraan jender dalam pendidikan (2015).
Comments |
|
|
|
|
|
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...