Knowledge-Based Economy
Oleh
Amich Alhumami
Pembangunan telah mendorong proses transformasi sosial ekonomi secara fundamental. Transformasi itu berlangsung makin cepat seiring dengan kian menguatnya globalisasi ekonomi, yang melahirkan paradigma baru pembangunan, knowledge-based economy (KBE). Sudah sejak lama wacana pembangunan yang merujuk pada paradigma KBE ini mulai menggeser paradigma lama yang bertumpu pada modal fisik dan modal sumber daya alam.
Secara sederhana, KBE didefinisikan sebagai suatu aktivitas perekonomian yang bertumpu pada dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi [iptek] baik teknologi informasi maupun komunikasi. Iptek menjadi elemen utama KBE, yang beperan penting dan memberi sumbangan siginifikan pada pertumpuhan ekonomi.
KBE berpijak pada tesis dasar: ilmu pengetahuan merupakan kunci dalam proses produksi sekaligus menjadi the driving factor of the economic development. Jika pada abad-abad lampau tanah dan pabrik menjadi aset ekonomi paling berharga serta sumber utama kemakmuran dan kesejahteraan, maka sekarang ini ilmu pengetahuanlah yang menjadi aset ekonomi paling utama dan faktor determinan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Ilmu pengetahuan merupakan komponen sangat vital untuk membangun kapasitas dan meningkatkan produktivitas, melampaui kekuatan modal dan tenaga kerja.
Indikator KBE
Untuk mengetahui daya saing ekonomi dan kesiapan suatu negara dalam mengembangkan KBE dapat dilihat dari Knowledge Development Index (KDI). Nilai KDI merupakan akumulasi penilaian lima indikator penting: [i] knowledge index, [ii] science infrastructure, [iii] computer infrastructure, [iv] education and training, dan [v] R and D (research and development) and technology. Lalu bagaimana kemampuan Indonesia dalam mengembangkan KBE? Apakah negara kita sudah siap menghadapi kompetisi antarbangsa di era globalisasi ekonomi?
Untuk mengukur daya saing ekonomi Indonesia dan kesiapan berkompetisi dengan negara lain, sangat relevan bila kita membuat perbandingan dengan Malaysia dan Korsel. Kedua negara tetangga paling dekat di Asia ini sekarang sedang memacu akselerasi pembangunan ekonomi yang berpijak pada paradigma KBE. Hampir semua indikator KBE menunjukkan betapa Indonesia tertinggal jauh di belakang kedua negara tersebut.
Pada tahun 2003, nilai KDI Indonesia hanya 1,518, sementara Malaysia dan Korsel masingmasing telah mencapai 2,645 dan 4,053. Yang mengagumkan, nilai KDI Korsel hampir mengejar pencapaian KDI Jerman yakni 4,615 (lihat Hans-Dieter Evers, Transition towards a Knowledge Society: lndonesia and Malaysia Compared, 2003). Negara gingseng ini memang sukses membangun perekonomian berdasarkan paradigma KBE seperti terlihat dalam inovasi teknologi (otomotif dan elektronika) yang amat menakjubkan. Produk-produk teknologi tinggi yang dihasilkan Korsel telah merambah pasaran dunia: berawal dari Asia, kemudian menembus Amerika Utara dan Eropa.
Dilihat dari banyak hal, Malaysia dan Korsel memang tampak lebih unggul dalam mengembangkan KBE. Indikator-indikator utama seperti infrastruktur iptek dan daya dukung SDM di kedua negara ini jauh lebih siap dalam menyongsong globalisasi ekonomi dan kompetisi antarbangsa. World Development Report 2002 merekam sejumlah data dan informasi penting.
Pertama, ilmuwan dan insinyur yang menekuni R and D per satu juta penduduk di Malaysia: 87 orang, Korsel: 2.636 orang, dan Indonesia: 181 orang. Kedua, rasio tenaga peneliti per 1.000 pekerja di Malaysia: 0,8, Korsel: 6,4, dan Indonesia: 0,5. Ketiga, persentase belanja penelitian dan pengembangan terhadap PDB Malaysia: 0,69 persen, Korsel: 2,91 persen, dan Indonesia: 0,05 persen. Keempat, personal computers (PCs) yang dimiliki per 1.000 penduduk Malaysia: 42,8, Korsel: 131,7, dan Indonesia: 4,8. Kelima, internet hosts per 10 ribu penduduk Malaysia: 19,3, Korsel: 28,77, dan Indonesia: 0,54. Keenam, ekspor produk teknologi (persentase dari ekspor manufaktur) Malaysia: 67, Korsel: 39, dan Indonesia: 17.
Dengan sejumlah indikator KBE tersebut, sangat logis bila perekonomian Malaysia dan Korsel mengalami lompatan luar biasa. Selama satu dekade telah berlangsung proses transformasi ekonomi secara spektakuler di kedua negara yang disebut the newly industrializing countries itu. Menurut HDR 2005, GNP per kapita (purchasing power parity) Malaysia dan Korsel masing-masing telah menca pai 9,512 dolar AS dan 17,971 dolar AS. Sementara Indonesia jauh di bawah yakni hanya 3,361 dolar AS.
SDM Indonesia
KBE hanya akan berkembang dengan baik bila didukung SDM bermutu dengan tingkat pendidikan memadai. Namun, melihat struktur dan komposisi angkatan kerja Indonesia yang ada saat ini, sulit kita membayangkan mereka bisa menopang KBE karena mayoritas hanya berpendidikan SMP ke bawah. Data tahun 2003 menunjukkan, komposisi angkatan kerja nasional menurut tingkat pendidikan adalah: SLTP ke bawah 75,16 persen, SLTA 20,23 persen, diploma (1-3) 1,93 persen, dan universitas 2,69 persen (Badan Pusat Statistik 2003). KBE jelas mensyaratkan tenaga kerja berpengetahuan dan berketerampilan tinggi. Padahal, mayoritas angkatan kerja Indonesia hanya mengenyam pendidikan tertinggi setingkat SMP, yang tentu saja tidak memiliki pengetahuan memadai dan hanya berketerampilan rendah.
Dalam konteks globalisasi ekonomi, setiap negara dituntut memiliki keunggulan kompetitif agar mampu bersaing di pentas dunia. Daya saing bangsa sangat bergantung pada institusi perguruan tinggi sebagai basis pengembangan iptek. Sebagai lembaga produsen iptek, perguruan tinggi diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan KBE, yang mensyaratkan SDM yang menguasai hard sciences seperti ilmu keteknikan, kedokteran, matematika, dan ilmu pengetahuan dasar [fisika, kimia, biologi].
Dalam konteks KBE, profesi yang banyak dibutuhkan adalah ilmuwan, insinyur, teknisi, dan peneliti yang bergerak di bidang R and D. Namun, melihat komposisi disiplin ilmu yang dikembangkan di perguruan tinggi di Indonesia, kita agak sulit mengembangkan KBE dengan baik. Dari tahun ke tahun, sa.rjana-sarjana lulusan perguruan tinggi lebih banyak di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora dibanding ilmu-ilmu keteknikan, kedokteran, dan MIPA.
Pada tahun 2003, lulusan perguruan tinggi negeri menurut bidang keilmuan adalah: ilmu sosial- humaniora 67 persen, teknik 12 persen, pertanian 9 persen, MIPA 7 persen, dan kedokteran 5 persen. Hal yang sama juga terjadi di perguruan tinggi swasta di mana bidang soft sciences sangat dominan. Persentase lulusan berdasarkan disiplin ilmu adalah: ilmu sosial-humaniora 66 persen, teknik 21 persen, MIPA 6 persen, pertanian 4 persen, dan kedokteran 3 persen (Statistik Perguruan Tinggi, Depdiknas, 2003).
Demikianlah, globalisasi ekonomi memang membuka berbagai peluang sekaligus tantangan. Indonesia harus memanfaatkan peluang yang ada untuk memajukan perekonomian nasional dan bersiap diri menghadapi kompetisi antarbangsa yang makin ketat. Bila mau mengembangkan KBE, maka kita harus berani melakukan investasi berskala besar untuk dua bidang strategis: pendidikan dan iptek.
Yang pertama untuk menyiapkan SDM yang berkualitas (ilmuwan dan peneliti bidang hard sciences, tenaga kerja terdidik). Yang kedua untuk membangun infrastruktur iptek yang kuat guna mendukung aktivitas R and D. Tanpa langkah strategis ini, Indonesia akan semakin jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun. Untuk itu, KBE harus menjadi agenda bangsa jangka panjang, setidaknya dalam 25 tahun ke depan.
Comments |
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...