KOMPAS, KAMIS, 3 DESEMBER 2009
PENDIDIKAN Gonjang-ganjing UN Persoalan dunia pendidikan negeri ini seolah-olah tak ada habisnya, dari hari ke hari malah semakin menjadi. Hal ini dapat kita lihat dari ujian nasional (UN), salah satu persoalan baru dalam dunia pendidikan, selain persoalan badan hukum milik negara dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang baru saja disahkan akhir tahun lalu. I Oleh FRANS EKODHANTO Sebelum dan setelah penetapan UN sebagai salah satu syarat atau standar kelulusan, putusan ini kerap menuai protes dari masyarakat, baik siswa, guru, mahasiswa, dosen, praktisi pendidikan, maupun sekelompok masyarakat lain yang menyatakan diri peduli terhadap pendidikan. Mereka kerap melakukan aksi turun ke jalan dan berharap agar putusan menetapkan UN menjadi salah satu syarat kelulusan dicabut. Mereka berpendapat bahwa mata pelajaran yang lain juga turut menjadi pertimbangan kelulusan. Dengan kata lain, syarat kelulusan diserahkan kembali pada sekolah, dalam hal ini guru. Sebab, guru atau wali kelaslah yang mengetahui perkembangan setiap siswa dari waktu ke waktu, apakah mereka paham dengan pelajaran dan layak diluluskan atau tidak.
Jika demikian, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, akankah UN tetap diselenggarakan pemerintah sebagai standardisasi atau salah satu syarat kelulusan dan diikutsertakan sebagai salah satu syarat bagi siswa untuk masuk ke perguruan tinggi?
Menyempurnakan pendidikan
Gonjang-ganjing UN adalah salah satu hukum mutlak sebab Sebab, pemerintah mengeluarkan kebijakan, dan akibatnya, masyarakat menanggapi kebijakan tersebut dengan berbagai cara, baik lisan, tulisan, maupun tindakan yang dapat mengekspresikan kekesalan; kekecewaan, dan yang paling penting keinginan untuk evaluasi serta perbaikan pendidikan. Sebagai negara yang menjun-jung tinggi nilai-nilai demokrasi, tentu hal tersebut sah-sah saja di-lakukan.
Bagi penulis, langkah yang di-tempuh pemerintah untuk menentapkan UN sebagai salah satu standar penilaian dan syarat kelulusan merupakan usaha untuk menyempurnakan pendidikan. Akan tetapi, cara tersebut kurang mendapatkan respons positif dari masyarakat karena dianggap memberatkan dan melemahkan mental siswa dan guru.
Ada tiga faktor yang sebaiknya diperhatikan pemerintah sebelum menetapkan suatu kebijakan agar"" masyarakat tidak selalu merasa menj adi obyek atau korban. Faktor yang pertama adalah membaca kondisi obyektif dan subyektif masyarakat Indonesia saat ini. Hal itu perlu agar pendidikan tidak kehilangan fitrahnya sebagai tempat untuk menempa mencerdaskan, mendewasakan, dan mendidik generasi penerus bangsa yang siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik serta siap membangun bangsa sebagai bangsa yang maju dan sejahtera.
Membaca kondisi obyektif adalah salah satu hal yang mutlak da-lam perubahan. Sebab, kondisi obyektif inilah yang dapat mendukung, mendorong, atau menjadi salah satu syarat mutlak terjadinya perubahan. Kondisi obyektif meli-puti fasilitas pendidikan, seperti bangunaji sekolah, buku, perpustakaan, fasilitas komputer atau internet, dan guru yang berkualitas.
Jika kita lihat kondisi obyektif-nya saat ini, fasilitas tersebut be-lum merata dan masih berbeda-beda di setiap daerah. Sebagai pertimbangan, fasilitas pendidikan di Pulau Jawa, misalnya Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta, dan di Kalimantan sangatjauhberbeda.
Di Pulau Jawa, guru atau layanan komputer dan internet tidak menjadi persoalan utama. Adapun di Pulau Kalimantan, guru atau fasilitas gedung sekolah kurang me-madai. Masih banyak daerah lain yang dapat kita jadikan contoh ataupun perbandingan akan ketidakmerataan fasilitas tersebut. Kondisi subyektif adalah mentalitas siswa, guru, dan masyarakat pendidikan untuk menerima dan menciptakan suatu perubahan dengan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.
Mencetak buruh
Faktor kedua, kurikulum pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan. Bagaima-na dengan kurikulum pendidikan di negeri kita saat ini, apakah kurikulumnya sudah memanusiakan manusia (Poulo Freire) atau malah sebaliknya? Jika kita lihat kondisi kurikulum pendidikan kita saat ini, justru sebaliknya, hanya mencetak tenaga kerja murah (buruh) yang siap dipekerjakan dan diba-yar murah di perusahaan asing.Hal tersebut tecermin dari proses belEtjar-mengajar yang lebih mengedepankan, nilai dan sedikit mempertimbangkan kemampuan-kemampuan yang lain. Salah satu bukti konkretnya adalah UN sebagai salah satu syarat mutlak kelulusan siswa. Belum lagi ada guru atau dosen yang antikritik. Mereka masih memelihara paradigma bahwa guru atau dosen adalah tuhan yang selalu benar,- tidak da-pat didebat ataupun dikoreksi de-mi kebaikan dan kebenaran untuk mencapai pendidikan yang ilmiah. Dengan kata lain, keilmuannya da-pat dipertanggungjawabkan dan yang paling utama bermanfaat ba-gi kehidupan berbangsa dan bernegara. Faktor ketiga adalah kerja sama antara pemerintah dan masyara-kat Indonesia. Kebijakan atau un-dang-undang seyogianya merupa-kan alat bantu untuk memudahkan kita menjalankan pendidikan. Sebelum menetapkan kebijakan atau mengesahkan undang-undang, pemerintah perlu memerha-tikan dan mempertimbangkan faktor membaca kondisi obyektif dan subyektif masyarakat Indonesia serta memerhatikan kuriku-lum pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan. Kalau itu sudah dilakukan, niscaya masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama dengan baik dan be-nar dalam menciptakan pendidikan dan perubahan yang lebih baik untuk bangsa dan negara. Semoga.
FRANSEKODHANTO
Kepala Departemen Pendidikan
UKSKUPI
Comments |
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...