MEDIA INDONESIA, 2 JUNI 2008
Manajemen Konflik di Sekolah
Oleh Rizal Panggabean
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Praktisi Sekolah Sukma Bangsa, Aceh
Bisakah sekolah menjadi tempat siswa mempelajari bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara damai? Apakah praktik dan tradisi bertengkar, tawuran, penerapan aturan disiplin yang ketat, dan bullying dapat dihilangkan dari lingkungan pendidikan anak-anak Indonesia?
Sekolah adalah tempat siswa yang berasal dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi, bertemu dan bergaul sambil menuntut ilmu. Selain mereka, ada guru, pengurus, dan karyawan, dengan peran dan tanggungjawab masing-masing. Selain itu, bila dilihat dari sudut fisik dan interaksi sosial, sekolah juga tertanam dalam ekologi sosial yang lebih luas.
Di luar pagar sekolah, ada keluarga dan masyarakat yang semakin lama semakin majemuk dan kompleks. Pusat-pusat kegiatansehari-hari, seperti jalan raya yang sibuk, pasar, dan pertokoan sering kali hanya berjarak beberapa meter dari kompleks sekolah. Kantor pemerintahan, rumah sakit, organisasi, dan lembaga masyarakat dengan fokus kegiatan yang berbeda juga bagian dari lingkungan sekolah selain perkampungan warga yang sering kali padat.
Dengan keadaan seperti itu, sekolah adalah tempat konflik sering muncul dalam berbagai bentuknya dan melibatkan berbagai jenis pihak. Konflik bisa terjadi antara siswa dan siswa, guru dan guru, guru dan siswa, siswa dan karyawan sekolah, karyawan sekolah dan guru, serta sekolah dan guru atau karyawan. Konflik antara sekolah dan masyarakat di sekitarnya juga dapat terjadi.
Tentu saja, tidak semua jenis konflik itu muncul di koran atau televisi. Sesuai dengan 'rukun iman' wartawan yang berbunyi, If it bleeds it leads--kalau berdarah‑darah, jadi berita utama--media massa hanya melaporkan konflik yang sudah telanjur keras dan ganas. Yang terpenting di antaranya adalah tawuran antarsiswa, baik yang berasal dari sekolah yang sama atau beberapa sekolah berbeda.
Perkelahian kelompok siswa itu tidak jarang menimbulkan korban luka bahkan tewas secara tragis. Kalau terjadi tawuran, ketenteraman masyarakat sekitar akan terganggu dan polisi akan turut campur, termasuk menangkap siswa. Yang memprihatinkan dari tawuran sekolah adalah kecenderungannya untuk melembaga dan terpola sehingga ada sekolah yang memiliki tradisi berkelahi dengan sekolah lain selama puluhan tahun.
Akan tetapi, ada banyak jenis konflik selain tawuran kelompok siswa yang perlu mendapat perhatian serius. Walaupun tingkat kekerasannya lebih rendah daripada perkelahian kelompok dan sering kali berupa antarpribadi. Konflik di sekolah dapat mengganggu pihak yang berkonflik dan mempengaruhi suasana sekolah sebagai tempat belajar yang aman.
Supaya konflik tidak mengganggu siswa secara fisik maupun psikologis, konflik tersebut harus dikelola dengan tepat dan baik. Manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS) adalah satu pendekatan yang perlu dilakukan di sekolah.
MKBS sudah digunakan di banyak negara. Di Indonesia, beberapa sekolah pun sudah mulai menerapkannya. Contohnya adalah sekolah Budi Mulia di Yogyakarta dan Sekolah Sukma Bangsa di Nanggroe Aceh Darussalam. Selain itu, walaupun tidak secara formal disebut manajemen konflik berbasis sekolah, ada banyak sekolah yang menggunakan proses belajar-mengajar yang inovatif. Inovasi tersebut mencakup metode pembelajaran yang kolaboratif dan manajemen kelas yang melibatkan siswa.
MKBS sangat relevan dan berhubungan langsung dengan unsur penting pendidikan anak yaitu keterampilan sosial (social skills) dan keterampilan hidup (life skills). Salah satu tujuan penting MKBS adalah supaya setiap siswa secara fisik dan psikologis merasa bebas dari ancaman dan bahaya. Lingkungan pendidikan yang aman akan memungkinkan siswa belajar dan bekerja sama mewujudkan tujuan bersama.
Tujuan lain manajemen konflik di sekolah adalah dalam rangka menghargai bahkan bila perlu merayakan kemajemukan dan perbedaan di sekolah. Apabila konflik dapat dikelola dengan baik sehingga tidak meningkat menjadi kekerasan terbuka, perbedaan di kalangan siswa yang bersumber dari kemajemukan latar belakang mereka justru menjadi bagian dari pengalaman belajar dan tumbuh.
Tentu saja, supaya sekolah bisa menerapkan MKBS, beberapa hal perlu dipertimbangkan siswa, guru, dan kepala sekolah. Salah satu di antaranya adalah bagaimana merancang proses belajar-mengajar yang tidak terpaku pada keterampilan akademis saja, dalam rangka mengejar target materi ajar. Komponen penting kurikulum pendidikan anak yang lain, khususnya keterampilan sosial dan keterampilan hidup perlu menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah.
Pertimbangan di atas merupakan salah satu nilai lebih dari pendekatan MKBS. Keterampitan sosial dan keterampilan hidup adalah komponen pokok kemampuan menghadapi masalah dan mengelola konflik. Itu mencakup kemampuan siswa mengelola konflik secara konstruktif, memecahkan masalah dalam hubungan antarpribadi, dan membangun dialog serta komunikasi dengan orang lain.
Beberapa penelitian menunjukkan keterampilanitu, apabila ditanamkan kepada siswa, lebih memberdayakan mereka baik secara kognitif maupun emosional. Siswa menjadi mandiri, memiliki kepemimpinan yang kuat, dan bertanggungjawab ketika dihadapkan kepada masalah. Sebaliknya, praktik-praktik tradisional yang menggunakan pendekatan represi dan kekuasaan untuk menyelesaikan masalah, tidak baik untuk kognisi maupun emosi siswa.
Pertimbangan lainnya adalah bagaimana memperkenalkan MKBS dilingkungan sekolah. Bila dilihat dari pengalaman sekolah, baik di Indonesia ma pun di negara lain, ada beberapa cara yang dapat dilakukan.
Salah satu di antaranya adalah dengan memberikan waktu khusus untuk mengajarkan kemampuan dasar dan prinsip pemecahan masalah sebagai mata pelajaran tersendiri yang diajarkan selama satu semester. Cara lainnya, tidak melalui mata pelajaran terpisah, tetapi melalui serangkaian pertemuan lokakarya atau lokakarya di luar jam belajar. Prinsip dan keterampilan manajemen konflik juga dapat dimasukkan ke rencana pembelajaran dan ke dalam serangkaian kegiatan terstruktur, seperti simulasi, permainan peran, diskusi, dan kegiatan belajar bersama. Semua cara itu termasuk pendekatan melalui proses kurikulum.
Cara yang lain adalah dengan membangun kelas yang damai (peaceable classroom). Maksudnya, guru mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik ke dalam suasana dan kegiatan kelas. Siswa, melalui kegiatan kelas, dilatih memecahkan masalah, menyelesaikan konflik antarsiswa, dan belajar melalui metode belajar bersama dan diskusi ilmiah. Guru, dengan kata lain, menciptakan suasana yang memungkinkan siswa mengernbangkan perilaku sosial yang positif, bekerja sama, komunikasi yang efektif, pengungkapan emosi dan perasaan, apresiasi terhadap perbedaan, dan resolusi konflik.
Akhirnya, sekolah juga dapat memperkenalkan program mediasi. Mediasi, dalam pengertian sederhana, adalah proses menyelesaikan konflik melalui bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini, sejumlah siswa dilatih di bidang prinsip dan kemampuan dasar di bidang proses mediasi. Dalam sejarah pendidikan modern, mediasi di lingkungan sekolah adalah salah satu pendekatan alternalif terhadap praktik-praktik tradisional seperti skorsing dan hukuman fisik bagi siswa yang dihadapkan kepada masalah dan konflik.
Mediasi sejawat atau peer mediation adalah bagian dari penerapan mediasi di lingkungan sekolah. Dalam hal ini, baik yang terlibat konflik maupun penengah atau mediatomya adalah siswa. Sebagai contoh, dua siswa yang terlibat konflik membicarakan penyelesaian terhadap konflik mereka dengan bantuan satu atau dua siswa lain sebagai penengah. Kesepakatan yang mereka capai melalui proses tersebut dapat ditulis. Tentu saja,siswa pertu mendapatkan latihan singkat bagaimana menjadi mediator tersebut.
Beberapa cara di atas dapat digunakan, baik secara terpisah maupun dikombinasikan. Proses penerapan MKBS juga bisa bertahap dan tidak harus serta-merta, seragam, dan memerlukan surat keputusan menteri atau yang semacamnya.
Modal awal yang paling strategis adalah daya cipta guru dan siswa. Sumbernya adalah kesadaran tentang meningkatnya kekerasan di sekolah dan masyarakat kita, perlunya siswa tumbuh sebagai warga yang memiliki keterampilan hidup, akademis, dan sosial. Sumber lain yang tidak kalah pentingnya, tetapi sering dilupakan adalah otonomi guru sebagai pihak yang paling bertanggung jawab menciptakan suasana yang aman dan hidup bagi siswa-siswanya.
Comments |
|
|
|
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...