SENIN, 24 AGUSTUS 2009 MEDIA INDONESIA
Keragaman Budaya dan Etnik dalam Muatan Kurikulum Pendidikan
Oleh Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
DALAM buku Politics, Language, and Culture: A Critical Look at School Reform, Joseph Check (2004) meng-ajukan pertanyaan menarik ten-tang muatan kurikulum dalam sebuah sistem pendidikan. 'Dapatkah sistem pendidikan sebuah negara melalui muatan kurikulumnya menghindari pertanyaan tentang isu RAS, bahasa dan budaya, serta dapat mencapai prestasi yang diharapkan?' Pertanyaan sangat serius ini mengundang kita untuk menjawab bahwa tidak mungkin rasanya kita menghindari isu-isu tersebut sejauh persoalan pemerataan (equity) pendidikan masih tetap tinggi, akses (access) dan kualitas (quality) pendidikan juga masih rendah. Untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan itu salah satunya dengan membuat atau memasukkan agenda keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan nasional. Menurut Ronal Eerguson (2002), respons dan pendekatan budaya sangat besar pengaruhnya terhadap prestasi anak di sekolah, terutama menyangkut sikap dan perilaku siswa dalam memandang perbedaan.
Selain kebutuhan instingtif dari siswa dalam memandang perbedaan, kebutuhan muatan budaya dan etnisitas dalam kurikulum juga akan meminimalisasi pemahaman siswa terhadap monopoli kebenaran dalam beragama. Selain itu alasan lainnya mengapa kita membutuhkan muatan keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum adalah untuk mengubah dan menambah respons pedagogis guru dalam mengajar. Jika guru memiliki kepekaan budaya dan etnik yang kuat, respons pedagogis guru akan meningkat dengan sendirinya. Melalui pendekatan muatan kurikulum berbasis budaya, respons pedagogis para guru terhadap siswa juga akan berbeda, dan hal tersebut dengan sendirinya akan membantu siswa dalam mengaksentuasinya keragaman budaya di lingkungan sekolah (Gordy & Pritchard, 1995).
Penubuhan keragaman budaya di sekolah
Geneva Gay dalam Culturally Responsive Teaching (2000) memberikan sedikit lima argumen mengapa muatan budaya dan etnik itu sangat strategis dan penting untuk ditubuhkan dalam kurikulum pendidikan. Pertama, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan sangat krusial sekaligus esensial bagi perbaikan aspek pedagogis guru dalam mengajar. Kedua, karena kebanyakan sumber belajar di ruang kelas adalah textbook, memasukkan agenda budaya dan etnik ke textbook merupakan keniscayaan karena hal itu akan mengubah gaya mengajar guru. Ketiga, berdasarkan riset secara simultan di beberapa sekolah, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan memiliki arti yang banyak bagi para siswa sekaligus meningkatkan apresiasi siswa dalam belajar. Keempat, relevansi muatan budaya dan etnik dalam kurikulum juga menyumbang kelestarian sejarah, budaya, tradisi sebuah etnik tertentu sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan apresiasi kebangsaan yang tinggi, baik di kalangan siswa maupun guru. Yang kelima, biasanya muatan budaya dan etnik diambil dari berbagai sumber yang sangat kaya, bukan hanya dari buku, melainkan juga dari pengalaman orang per orang, baik melalui wawancara maupun yang didokumentasikan dalam bentuk tayangan dan sebagainya. Artinya, sumber informasi yang sangat melimpah tentang budaya dan etnik di luar sekolah itu akan membantu baik guru maupun siswa dalam menciptakan kecintaan terhadap keragaman.
Mencintai keragaman dapat berarti banyak hal bagi bangsa Indonesia. Apalagi di tengah mencuat dan menguatnya ancaman terorisme yang jelas sangat tidak pro terhadap fakta keragaman. Jelas sekali bahwa kebutuhan memasukkan muatan budaya dan etnik ke dalam kurikulum pendidikan akan menjadi tonggak penting dalam mereduksi paharn-paham keagamaan yang salah. Kritik sekaligus pukulan dari para pelaku teror sesungguhnya menguatkan asumsi tentang kebutuhan akan muatan keragaman budaya dan etnik ke dalam kurikulum pendidikan kita.
Harus diakui bahwa acuan utama terwujudnya masyarakat yang damai dan kondusif adalah pemahaman tentang ragam budaya atau multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996; Watson 2000). Dalam model pemahaman ini, sebuah masyarakat harus dipandang sebagai pemilik sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah gambar, dengan semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar dan mempunyai kebudayaan seperti sebuah desain tersebut (Reed 1997). Model paham keragaman budaya ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, seperti terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi: 'Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah'.
Dalam konteks keragaman budaya, multikulturalisme sangat menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Paham multikulturalisme yang akan kita kembangkan melalui muatan keragaman budaya dan etnik ke dalam kurikulum di sekolah harus mampu mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu pola pembelajaran yang demokratis, pendidikan dan pengembangan SDM yang mengakui kesederajatan (equity and equality), keadilan dan penegakan hukum, juga memikirkan tema-tema tentang kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Banks (1999) memberikanbeberapa ciri dan karakter yang baik untuk mengembangkan paham multikulturalisme ini dalam sekolah, antara lain melalui penetrasi kurikulum sekolah dan proses pengembangannya yang didesain dengan mengacu dan merefleksikan pengalaman, budaya, dan perspektif dari berbagai macam keragaman etnik dan suku bangsa serta kesetaraan gender. Di samping itu, metodologi pengajaran yang digunakan para guru juga harus sesuai dengan sikap budaya, motivasi, latar belakang siswa yang beragam karakter, bakat dan minat.
Sekolah yang ingin mengembangkan paham multikulturalisme juga harus mampu menyediakan buku dan bahan ajar yang akan digunakan serta ruangan pendukung sekolah sesuai dengan pola keragaman budaya, agama, dan suku bangsa seluruh siswa. Sementara itu, penilaian siswa dilakukan dengan mempertimbangkan asas sensitivitas kultural dan agama siswa sehingga secara proporsional mampu mengembangkan bakat dan minat siswa yang secara langsung juga dapat mendukung budaya sekolah dan kegiatan ekstra kurikuler yang juga merefleksikan keragaman budaya, agama, dan etnik.
Sesuai dengan nama yang disandangnya, pendidikan multi-kultural merupakan landasan utamasemua proses pembelajaran yang akan diselenggarakan di setiap sekolah di Indonesia. Pendidikan multikultural berangkat dari konsep atau teori meltingpot, yakni satu proses seseorang atau kelompok dengan latar belakang etnik dan budaya berbeda berlebur dan menjadi bagian dari proses sosiologis yang lebih luas, suatu proses kompromi yang ditandai dengan saling menghargai dan menghormati di antara kelompok dan pada saat bersamaan menghargai identitas budaya lain dalam masyarakat. Pengertian semacam itu selanjutnya bisa dilihat dalam empat elemen berikut, yaitu (1) gerakan; (2) pendekatan kurikulum; (3)proses; dan (4) komitmen. Gerakan berarti usaha untuk mencapai kesamaan mendapatkan kesempatan pendidikan dan keadilan pendidikan bagi semua kalangan masyarakat, termasuk anak-anak dan pemuda dari kelompok minoritas dan miskin; pendekatan kurikulum mengacu pada satu rancangan sistern pendidikan yang menekankan transmisi pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang perbedaan budaya, sejarah, dan kontribusi kelompok etnik dan bangsa serta peradaban tertentu; proses mengacu ke usaha menjadikan seseorang berjiwa multikulturalis yang mampu memahami, menghargai dan menegosiasi budaya dalam kemajemukan, baik secara sosiokultural maupun keagamaan; dan komitmen berarti upaya untuk memerangi rasialisme dan praktik-praktik diskriminasi dan penindasan secara konsisten.
Dengan demikian, dalam pendidikan multikultural, aspek-aspek seperti sikap yangterbuka, inklusif, lebih mengedepankan dialog, saling memahami perbedaan ideologi dan nilai di tengah masyarakat yang beragam (secara budaya dan agama), diakui sebagai modal penting bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat, dengan semua perbedaan dan keragaman dalam masyarakat dilihat sebagai sumber kekuatan untuk pemberdayaan masyarakat. Agen pertama yang akan menyampaikan paham dan ideologi keraga man budaya itu adalah para guru yang lebih dapat mengerti aspek kebutuhan pedagogis dalam mengajar. Artinya, tanggung jawab dan respons guru secara budaya juga akan memperkuat proses pemahaman siswa terhadap keragaman budaya dan etnik sebuah suku bangsa.
Comments |
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...