Menekan Harga Buku dengan Membeli Hak Cipta
Oleh TONGGO ANTHON
KELUHAN masyarakat soal mahalaya buku teks pelajaran (BTP), mulai direspons pemerintah dengan membeli hak cipta BTP. Tahun ini pemerintah menganggarkan Rp 4 miliar untuk 59 jilid buku dan mengundang para penulis untuk mengirim naskahnya hingga 5 Oktober 2007. Naskah ini akan diperbanyak dalam bentuk disket, cakram, dan e-book di internet.
Masyarakat mengaksesnya secara gratis. Sedangkan untuk kepentingan komersial harus mendapat izin, seperti para penerbit buku cetak. Butir perjanjian yang akan diikat bahwa para penerbit harus menjual dengan harga 50 persen lebih murah dari saat ini. Apakah kebijakan ini dapat menolong daya beli masyarakat dalam melaksanakan hak untuk memperoleh pendidikan?
Yang paling penting dari daya beli adalah bukan hanya menekan harga jual BTP-nya, tetapi keseimbangan antara keadaan keuangan dengan harta BTP. Padahal, keseimbangan antara keadaan keuangan dan harga BTP itu tidak hanya dengan rendahnya 50 persen harga BTP dari saat ini, tapi juga dari tidak bertambah tmgginya inflasi dan harga barang serta jasa kebutuhan hidup yang lainnya demi meningkatnya pendapatan masyarakat.
Mengharapkan harga buku turun 50 persen dari saat ini adalah sesuatu yang sulit terjadi! Dari patokan pemerintah bahwa penerbit hanya boleh menjual 50 persen lebih rendah dari harga saat ini, menunjukkan pemerintah menilai bahwa selania ini para penulislah yang mengambil bagian 50 persen dari harga buku. Padahal, tidak ada satu pun penulis buku di Indonesia yang pernah dibayar 50 persen dari harga jual buku. Jatah untuk para penulis berkisar antara 10-20 persen. Bila sekarang pemerintah membeli hak cipta penulis, berarti pemerintah baru memotong 10-20 persen dari harga jual BTP.
Kemudian, inflasi setiap tahun terjadi kurang lebih 15 persen. Ini berarti setiap tahun penerbit harus menaikkan harga BTP kurang lebih 15 persen. Jika dibanding dengan pembelian hak cipta penulis, maka harga buku di masa depan minimalnya sama dengan harga saat ini. Ini berarti mimpi akan harga BTP 50 persen lebih rendah dari saat ini adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Jika pemerintah menginginkan harga BTP masa depan 50 persen lebih rendah dari saat ini, maka unit belanja produksi BTP yang dibiayai pemerintah tidak hanya sekadar membeli hak cipta, melainkan hingga ke unit-unit lainnya. Unsur-unsur biaya produksi buku meliputi royalti penulis, percetakan, distribusi, dan. Fee penerbit. Biasanya biaya cetak antara 20-30 persen, distribusi antara 30-50 persen (toko buku saja mintanya minimal 30 persen), penerbit antara 5-30 persen. Jadi, bila pemerintah membeli hak cipta penulis dan inflasi 15 persen per tahun, maka harga BTP masa de-pan minimalnya baru sama dengan yang sekarang. Bila pemerintah mau menekan harga BTP masa depan hingga 50 persen, maka pemerintah harus ikut membiayai unit belanja percetakan atau distribusi.
Harga BTP saat ini pun sebenarnya masih bisa ditekan. Yang membuat biaya produksi BTP jadi mahal adalah masuknya pihak sekolah (guru) dengan menggunakan kekuasaannya sehingga terjadi monopoli pasar BTP. Setelah guru memilih BTP tertentu, kemudian mereka mewajibkan siswa untuk membayar dengan harga yang sudah mereka tentukan, demi keuntungan di pihak sekolah/guru (BI Purwantari, Kompos, 30 Juli 2007: 36). Sementara itu, guru di sekolah sangat powerful di mata orang tua dan termasuk komite sekolah, baik karena orang tua takut para guru menekan nilai anak mereka maupun karena kehadiran komite sekolah masih sebagai "penyetuju" keputusan sekolah/guru (Tonggo Anthon, Pikiran Rakyat, 2/Agustus 2007).
Oleh karena itu, sebenarnya salah satu cara pemerintah menekan biaya produksi BTP adalah dengan meniadakan campur tangan sekolah/guru dari tata niaga BTP dan memberdayakan komite sekolah (berubah dari "penyetuju" ke "penilai", "penimbang", dan "pengambil keputusan" atas setiap usulan sekolah/guru).
Awas neokapitalisme BTP!
Kehadiran kapitalisme di muka bumi ini, tidak pernah sepi dan kritikan! Mekanisme pasar terlalu "liar-buas" untuk siap memangsa setiap kaum lemah hingga kemiskinan dan kesenjangan menjadi pemandangan dunia yang amat memilukan. Lalu munculah pemikiran bahwa pemerintah harus campur tangan dalam mengatur pasar, agar lebih "ramah" kepada kaum lemah. Inilah yang disebut dengan neo-kapitalisme!
Namun, dunia ini bingung mencari sistem pengganti neo-kapitalisme, karena ternyata para birokrat (di belahan dunia mana pun) sukanya "berselingkuh" dengan para pengusaha, agar sama-sama berbuat saling menguntungkan diri sendiri dan sama-sama "memeras" rakyat. Indonesia pun yang memproklamasikan diri sebagai ekonomi Pansasila pun tidak jelas po-sisinya, melainkan ber-KKN dengan pengusaha untuk mengeruk keuntungan "haram".
Mekanisme masuknya BTP ke sekolah sudah diatur melalui Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005, tentang Buku Teks Pelajaran Pasal 3 mengamanatkan bahwa BTP harus ditetapkan oleh Menteri Atas Rekomendasi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (Ayat 1), untuk muatan lokal ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota (Ayat 2). Namun, pengalaman membuktikan bahwa beberapa pejabat justru terlibat korupsi dalam pengadaan BTP, misalnya yang sudah menjebloskan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman dan pejabat-pejabat lainnya di negeri ini.
Bayangkan, baru pasal "persetujuan" BTP masuk sekolah saja sudah membuat BTP semahal itu. Apalagi kalau ditambah dengan pembelian hak cipta penulis BTP! Bisa-bisa penulisnya hanya terima Rp i juta, tapi lapor ke negara Rp 100 juta. Jadi, yang paling penting di sini adalah bagaimana mekanisme pembelian hak cipta menjamin tidak adanya "perselingkuhan" antara pejabat dan penulisnya?
Tidak harus dengan BTP!
Kita terlalu tidak berani dengan berpikir lateral! Berbicara tentang peningkatan mutu pendidikan, BTP selalu menjadi pilihan wajib. Saya mengajak agar kita mencoba berpikir untuk meninggalkan BTP.
Anak saya pernah saya coba untuk memiliM BTP (ketika kelas I dan II SD) dan tidak memiliki BTP (ketika kelas III). Ternyata, baik proses maupun hasil belajar, anak saya tidak mengalami perbedaan mendasar antara memiliki dengan tidak memiliki BTP. Dia bisa mengikuti setiap proses belajar-mengajar (PBM) dan hasilnya lebih bagus ketika dia tidak memiliki BTP. Bagaimana cara belajar dengan tidak memiliki BTP?
Pemerintah sudah menyusun kuri-kulum dan silabus setiap mata pelajaran, baik di tingkat nasional maupun muatan lokal. Kami berusaha memiliki lembaran-lembaran itu. Ternyata ketebalan silabus setiap mata pelajaran berkisar antara 1 hingga 5 halaman kuarto. Kami fotokopikan silabus-silabus itu. Di SD hanya enam pelajaran, maka semua silabus dalam satu kelas hanya memburuhkan antara 5 hingga 30 halaman kuarto. Jika biaya fotokopi per lembar Rp 100,00, maka kami hanya mengeluarkan uang maksimum Rp 3.000,00. Padahal, sebelumnya kami keluarkan uang tidak kurang dari Rp 200.000,00.
Sebetulnya, kalau Mta pahami baik-baik terhadap BTP yang beredar saat ini dengan tebal per bukunya hingga 100 lebih halaman, ternyata isinya sangat sedikit! Setiap kelas paling banyak terdapat 20 materi.
Tanpa membaca BTP, isi setiap materi hanyalah jawaban atas sekitar lima kata tanya: apa, mengapa, bagaimana, siapa, kapan, dan di mana. Misalnya, apa itu air, mengapa ada air, bagaimana air bisa eksis, siapa yang memburuhkan air, kapan adanya air, dan di mana air ada. Bagi orang tua atau keluarga yang serius mendidik anak, pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidaklah sulit untuk dijelaskan kepada anak. Dewasa ini, informasi seperti ini rmidah didapati, lewat orang per orang, media massa, dan perenungan pribadi.
Salah satu sumber yang memudahkan kami adalah memiliki kamus dan ensiklopedi. Setiap pelajaran kami memiliki kamus dan ensiklopedinya. Jika SD dengan enam mata pelajaran dan setiap pelajaran kami memiliki kamus dan ensiklopedi, maka selama di SD anak kami hanya punya 12 buku, yaitu enam kamus dan enam ensiklopedi. Dengan demikian, ensiklopedi dan kamuslah yang akan menjawab lima kata tanya tadi dalam setiap materi.
Mengapa hasil yang diraih anak saya lebih bagus dari pada ketika mereka memiliki BTP? Ternyata mutu BTP kita cukup jelek! Dalam (Pikiran Rakyat 2 Agustus 2007) saya sudah menguraikan bahwa saya belum temukan BTP yang berkualitas bagus, baik dari aspek ketuntasan konsep, ke-benaran konsep, sistimatika, maupun kebahasannya. Dalam kondisi seperti ini, BTP justru merusak mutu pendidikan anak-anak kita.
Oleh karena itu, yang paling penting adalah pemerintah menyebarluaskan silabus bagi setiap siswa. Dengan silabus itulah setiap orang tua/keluarga akan mengembangkan sendiri dari berbagai sumber. BTP yang ada pun lebih banyak mencetak lembaran kerja siswa (LKS) dengan soal yang diulang-ulang, tapi esensinya sama saja. Akhirnya orang tua membeli BTP ibaratnya membeli LKS-LKS yang diulang-ulang.***
Penulis, mantan pengums komite sekolah salah satu sekolah di Yogyakarta.
Comments |
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...