Article Index |
---|
Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama |
Page 2 |
Page 3 |
Page 4 |
All Pages |
Kenapa Orang Indonesia (Sedikit, Sangat Sedikit, Luar Biasa Sedikit) Membaca Buku?
Kenapa di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya pasasir Indonesia tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Kenapa di bus Pekanbaru - Bukittinggi penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Kenapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar - Banda Naira penumpang tidak membaca buku kumpulan puisi, tapi main domino? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama tapi asyik main sms? Ada 4 - 5 teori kuno yang mencoba menjelaskan sebab defisiensi budaya yang sudah luar biasa parah ini, dan sudah berlangsung 55 tahun lamanya, tapi saya jemu dan tidak akan mengulanginya.
Etiologi dari epidemi ini, sebab utama penyakit kronis ini terletak sejak dari hulu sampai hilir aliran sungai lembaga pendidikan kita, yaitu terlantarnya kewajiban membaca buku sastra di sekolah-sekolah kita. Mari kita teropong masalah ini, dengan mempertajam fokus lensa pengamatan ke SMA. Agar diperoleh perbandingan yang menguntungkan, kita luaskan pandangan ke SMA 13 negara, sebagai berikut ini.
Antara Juli-Oktober 1997 saya melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 negara. Saya bertanya tentang 1) kewajiban membaca buku, 2) tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, 3) bimbingan menulis dan 4) pengajaran sastra di tempat mereka. Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan diuji:
Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara
NO | ASAL SEKOLAH | KOTA | TAHUN | BUKU WAJIB |
1 | Thailand Selatan | Narathiwat | 1986-1991 | 5 judul |
2 | Malaysia Kuala | Kangsar | 1976-1980 | 6 judul |
3 | Singapura | Stamford College | 1982-1983 | 6 judul |
4 | SM Melayu | Brunei Darussalam | 1966-1969 | 7 judul |
5 | Uva | Rusia Sovyet | 1980-an | 12 judul |
6 | Kanada | Canterbury | 1992-1994 | 13 judul |
7 | Jepang | Urawa | 1969-1972 | 15 judul |
8 | Swiss | Jenewa | 1991-1994 | 15 judul |
9 | Jerman Barat | Wanne-Eickell | 1966-1975 | 22 judul |
10 | Perancis | Pontoise | 1967-1970 | 30 judul |
11 | Belanda | Middleburg | 1970-1973 | 32 judul |
12 | Amerika Serikat | Forest Hills | 1987-1989 | 32 judul |
13 | Hindia Belanda | Yogyakarta | 1939-1942 | 25 judul |
14 | Hindia Belanda | Malang | 1929-1932 | 15 judul |
15 | Indonesia | Dimana saja | 1943-2005 | 0 judul |
Catatan:
Angka di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional), dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra 1) tak disebut di kurikulum, 2) dibaca Cuma ringkasannya, 3) siswa tak menulis mengenainya, 4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan 5) tidak diujikan, dianggap nol. Angka not buku untuk SMA Indonesia sudah berlaku 62 tahun lamanya, dengan kekecualian luarbiasa sedikit pada beberapa SMA saja.
Sebagai tamatan SMA Indonesia, mari kita ingat-ingat berapa buku sastra yang wajib baca selama 3 tahun di sekolah kita dulu (yang disediakan di perpustakaan, dibaca tamat, kita menulis mengenainya dan lalu diujikan).
Nol buku. Tapi kita tahu 3 puisi Chairil Anwar ("Aku", "Krawang-Bekasi", "Senja di Pelabuhan Kecil"), kenal jalan cerita novel Layar Terkembang, dan pernah dengar-dengar Rendra lahir di kota mana gerangan. Dengan kriteria di atas, kita seharusnya tamat 72 puisi dan 7 prosa Chairil (bukunya Derai-derai Cemara setebal 132 halaman), baca tamat Layar Terkembang (bukan tahu plotnya karena baca sinopsisnya), dan baca tamat kumpulan puisi Balada Orang Tercinta.
Di SD kita diberi tahu tentang awalan, sisipan dan akhiran. Di SMP kita dilatih menggunakan awalan, sisipan dan akhiran. Di SMA kita diperiksa menggunakan awalan, sisipan dan akhiran. Sastra diajarkan dalam definisi-definisi, seperti ilmu fisika, dalam rumus-rumus, mirip ilmu kimia.
Latihan mengarang mendekati Nol Karangan. Rejim Linguistik menguasai pelajaran bahasa dan sastra lebih dari setengah abad lamanya. Siswa tidak diberi kesempatan berenang di danau kesusastraan dengan nikmatnya.
Siswa SMA wajib menulis karangan, 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. Panjang karangan satu halaman. Jumlahnya 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan merdu dan lancar.
Kewajiban menulis karangan di SMA kini antara 1 kali setahun (mirip shalat Idulfitri) sampai 5 kali setahun (pastilah di SMA favorit yang mahal itu). Dibanding dengan AMS, yah, sekitar 5,2 persen. Ratusan ribu siswa pasti pernah menulis karangan dengan judul"Cita-citaku" dan "Berlibur di Rumah Nenek.”
Comments |
|
|
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...