Andai Buku Sepotong Pizza
Oleh
Muhammadun AS
JUDUL di atas saya cuplik dari judul buku Hernowo (Kaifa: 2003), untuk menyentuh relung kesadaran kita di . Hari Buku Nasional, 21 Mei 2006. Dalam buku menggelitik tersebut Hernowo sebenamya masih dalam taraf menyadarkan masyarakat yang masih terjebak dalam tradisi "dongeng" (lisan) menuju masyarakat bertradisi baca.
Masyarakat dongeng merupakan cermin masih begitu kuatnya masyarakat meyakini kabar burung, mitos, dan cerita misterius lain. Sangat berbeda dengan masyarakat baca yang lebih mengedepankan bukti ilmiah, sikap kritis, dan selalu haus akan informasi baru untuk menjelajah ruang-ruang di alam semesta. Tidak salah kalau Gola Gong (2006) menilai bahwa hanya dengan buku kita dapat menggeng-gam dunia, menjelajah seluruh pemikiran dan imajinasi yang terhampar di jagat raya.
Begitu dahsyatnya peran buku dalam membangun peradaban suatu bangsa, hampir seluruh mantan presiden AS selalu membuat otobiografi sebagai bukti kecintaan mereka pada budaya membaca buku. "Reading Is My Hobby", demikianlah sejarah mencatat, sehingga AS memiliki pemimpin-pemimpin besar yang gila buku, seperti John Quincy Adams, Abraham Lincoln, dan JF Kennedy; Inggris pernah memiliki pemimpin legendaris Winston Churchill yang maniak buku; dan India memiliki pemimpin besar Jawaharlal Nehru yang kutu buku.
Keteladanan mereka dalam hal membaca buku telah tertular secara meluas pada rakyatnya. Ketiga negara itu sekarang tercatat sebagai penghasil buku terbesar di dunia. Menariknya, Clinton dalam otobiografinya My Life menjelaskan bahwa buku adalah jembatan menuju abad 21. Demikian juga yang dilakukan Harun al-Rasyid di negeri Malam Seribu Bulan. Lewat perpustakaan Baitul Himah, Harun al-Rasyid mampu menghadirkan Kekhalifahan Abbsyiah sebagai tonggak peradaban dunia paling monumental.
Padahal, masa itul, abad ke-7 dan 8, Barat masih berupa masyarakat barbarian yang bangga karena ketidakmampuannya membaca. Sementara itu, Immanuel Kant mampu menjelajah filsafat etiknya secara komprehensif setelah selama tiga bulan berada di kamar, bergelut, bergelayut, dan bersenggama dengan buku sampai lupa mandi.
Tradaisi menulis otobiografi mantan presiden AS inilah yang tidak ditiru bangsa Indonesia. Ironisnya bangsa kita hanya meniru gaya hidup, life style, dan budaya hedonis-konsumeristik orang Barat. Coba kalau para mantan presiden diharuskan membuat otobiografi, pasti kecelakaan-kecelakan sejarah tidak lagi terulang di masa presiden sesudahnya, sebagaimana yang dialami saat remaja oleh Abraham Lincoln( 1809-1865) yang sangat terkesan dengan dua biografi yang dibacanya, Benyamin Franklin. (1706-1790) dan George Washington (1732-1799).
Kedua tokoh besar itu telah meninggalkan jejak-jejak sejarah yang menimbulkan semangat membara dalam diri Lincoln untuk mengikutinya. "Saya akan mempersiapkan diri saya, dan suatu saat nanti pasti ada kesempatan bagi saya," tulis Lincoln.
Sementara tradisi membaca, apalagi menulis, tidak pernah ditekankan di lembaga pendidikan kita. Tidak salah kalau dalam analisis terbaru, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang kesulitan mencari generasi pemikir dan peneliti. Karena pascaundurnya para peneliti senior, tradisi penelitianil di LIPI tidak lagi menggigit dan memunculkan ilmuwan besar, seperti Taufik Abdullah.
Momentum Hari Buku Nasional 2006 bersamaan dengan sewindu reformasi, sangat tepat dijadikan langkah strategis dalam mewujudkan terciptanya masyarakat baca. Sekaranglah saatnya mereformasi berbagai pemikiran yang menghambat nalar kritis bangsa di masa depan.
Pertama, bagi masyarakat yang sudah ’sadar baca’, saatnya membagikan kenikmatan kepada sesama bahwa membaca buku adalah seindah dan selezat makan pizza: nikmatnya begitu luar biasa. Dengan menularkan budaya sadar baca, khususnya kepada masyarakat menengah ke bawah, maka di situ kita sudah membangun fondasi kebangkitan bangsa. Karena dari sanalah akan muncul pemikiran-pemikiran besar yang mengharumkan nama bangsa. Siapa sangka almarhum Pramoedya Ananta Toer yang puluhan tahun mendekam di penjara dan diasingkan justru mampu menciptakan buku-buku legendaris.
Kedua, menjadikan buku sebagai wajah pradaban bangsa. Dengan menempatkan buku sebagai poros utama mencetak peradaban, maka tugas setiap personal warga bangsa, khususnya yang berkecukupan (the have) untuk membuat perpustakaan yang dapat diakses secara bebas oleh masyarakat luas. Perpustakaan dapat dijadikan sebagai media terciptanya forum diakusi, seminar, penelitian,dan pengkaderan penulis-penulis berbakat. di masa depan.
Dalam konteks ini, menarik apa yang dilakukan sebuah pesantren di Yogyakartal yang diasuh Gus Zainal A. Thoha. Pesantren tersebut sengaja menyiap-kan kurikulum untuk mencetak penulis-penulis hebat. Maka, setiap saat, santri selalu dilatih menulis, menulis, dan menulis. Hasilnya, kini tulisan-tulisan para santri Gus Zainal telan menghiasi berbagai media lokal dan nasional.
Comments |
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...