SENIN, 18 JANUARI2010 I MEDIA INDONESIA
Ujian Nasional Pasca penolakan Kasasi Pemerintah
Oleh Elin Driana
Mendalami Bidang Riset dan Evaluasi Pendidikan, Salah Seorang Koordinator Education Forum
AKHIRNYA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun berbicara tentang kebijakan ujian nasional (UN). Sikap presiden terhadap UN sebenarnya telah lama ditunggu, terlebih karena Presiden RI merupakan tergugat I dalam gugatan warga negara perihal penyelenggaraan UN yang telah sampai pada tahap penolakan terhadap kasasi yang diajukan pemerintah.
Gugatan terhadap kebijakan UN ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia dengan puncaknya penolakan kasasi pemerintah. Oleh karena itu, tidak berlebihan unruk menjadikan putusan pengadilan sebagai momentum unruk mengevaluasi secara total kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Namun, penyikapan presiden tampaknya masih terbatas pada aspek-aspek teknis pelaksanaan UN melalui dua opsi yang diajukan. Pertama, melaksanakan UN dengan memberlakukan ujian ulangan. Kedua, menggunakan model evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas) yang pernah diberlakukan di tahun-tahun sebelumnya.
Pernyataan-pernyataan Mendiknas Moham-mad Nuh pun semakin mempertegas keteguhan pemerintah unruk tetap menyelenggarakan UN meskipun telah ada penolakan kasasi yang diajukan pemerintah. Benar bahwa Mahkamah Agung tidak melarang penyelenggaraan UN. Akan tetapi, secara tegas pengadilan memerintahkan kepada para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum menge-luarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut.
Sebagai ilustrasi, kasus serupa pernah terjadi di Negara Bagian Florida, Amerika Serikat, pada 1979 (Debra P Turlington). Pengadilan mengabulkan gugatan sepuluh siswa keturunan Afrika-Amerika yang merasa dirugikan oleh kebijakan ujian kelulusan dan memerintahkan penangguhan penggunaan hasil ujian sebagai syarat kelulusan hingga empat tahun setelah putusan pengadilan. Penangguhan tersebut di-lakukan untuk menjamin kualitas pembelajaran yang setara di seluruh distrik di negara bagian tersebut sebelum pelaksanaan ujian kelulusan. Siswa yang semula dinyatakan gagal akhirnya berhak mendapatkan ijazah meskipun tidak lulus ujian. Gugatan-gugatan melalui pengadilan seputar ujian kelulusan pun bermunculan di negara-negara bagian lain.
Belajar dari kasus tersebut, rasanya tidak ter-lalu berlebihan untuk berharap agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat segera mengeksekusi putusan yang telah dikeluarkan dengan secara tegas memerintahkan untuk menunda pelaksanaan UN sampai terpenuhi berbagai kondisi yang memungkinkan pelaksanaan UN. Pada saat yang sama, asumsi yang mendasari kebijakan UN dan penggunaan hasil-hasil UN juga perlu dievalu-asi secara total.
Peningkatan mutu pendidikan
Kegigihan pemerintah unruk tetap menyelenggarakan UN didasarkan pada asumsi bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah yang strategis dan tepat untuk meningkatkan presta-si dan motivasi belajar siswa sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas pendidikan dan mengurangi kesenjangan mutu pendidikan di tanah air. J Douglas Willms (2006) dalam laporan-nya berjudul Learning Divides: Ten Policy Questions about the Performance and Equity of Schools and Schooling Systems mengelompokkan sistem akuntabilitas pendidikan, antara lain melalui ujian kelulusan, sebagai bentuk intervensi universal (universal intervention). Intervensi tersebut merupakan sebuah kebijakan yang diterapkan bagi Seluruh siswa dengan tujuan Meningkatkan prestasi Akademis mereka.
Namun, intervensi univer-sal berpotensi melanggengkan atau malah mempertajam kesenjang-an mutu pendidikan berdasarkan status sosial ekonomi. Keterkaitan yang erat antara prestasi akademis siswa dan latar belakang sosial ekonomi keluarga dan kondisi sekolah memang telah mendapatkan bukti empiris, antara lain melalui penelitian yang melibatkan siswa dari berbagai negara dengan menggunakan hasil The Programme for International Student Assessment (PISA) (Willms, 2006; Fuchs dan Wogmann, 2007).
Hasil-hasil penelitian yang telah diterbitkan di berbagai jurnal jurnal internasional seputar ujian kelulusan dalam meningkatkan prestasi akademis siswa pun masih memberikan hasil yang bertentangan. Sebagai perbandingan, siswa-siswa di Finlandia mampu mencatat prestasi gemilang dalam PISA meskipun tidak ada ujian kelulusan. Satu satunya ujian berskala nasional yang dilaksanakan adalah ujian matri-kulasi sebagai syarat untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Di Indonesia sendiri penelitian-penelitian untuk menguji efektivitas kebijakan ujian kelulusan masih terbatas. Pemerintah pun tampak-nya belum menurijukkan kesungguhan dalam menguji apakah pelaksanaan UN mampu meningkatkan mutu pendidikan. Kalaupun ada, indikator tersebut hanya terbatas pada infor-masi nilai rata-rata UN dari tahun ketahun. Meskipun penting, sebenarnya ada indikator-indikator lain yang semestinya juga dikaji, misalnya bagaimana pengaruh UN terhadap proses pembelajaran di kelas. Menjelang pelaksanaan UN biasanya sekolah hanya akan memfokuskan pembelajaran pada mata pelajaran yang di UN kan. Bahkan, ada sekolah-sekolah yang langsung mengundang pengajar dari bimbingan belajar untuk mengajar di sekolah. Hal itu mengisyaratkan ketidakpercayaan pada guru-guru dalam membekali siswa-siswi mereka menghadapi UN. Prosesproses belajar yang mendorong tumbuhnya rasa ingin tahu yang lebih dalam, kreativitas, ataupun kemampuan dalam merumuskan dan memecahkan masalah yang terkait dengan dunia nyata, bekerja sama dalam kelompok, dan mengungkapkan gagasan dalam bentuk lisan maupun tulisan menjadi terpinggirkan, tergan-tikan oleh latihan-latihan soal. Padahal, kemampuan-kemampuan seperti ini amat dibutuhkan bagi siswa sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ataupun terjun ke dunia , kerja dan masyarakat. Belum lagi menyebut berbagai dampak-dampak negatif akibat penye-lenggaraan UN. Misalnya, indi kasi indikasi kecurangan dalam UN dengan modus modus yang semakin canggih meskipun pemerintah dari tahun ke tahun menegaskan akan melakukan perbaikan-perbaikan dalam pengawasan UN serta tekanan berlebihan yang dirasakan oleh siswa maupun guru.
Pemetaan mutu pendidikan
Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan, antara lain, bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertim-bangan untuk pemetaan mutu program dan/ atau satuan pendidikan.
Akan tetapi, hingga saat ini, masyarakat tidak , mendapatkan informasi yang jelas pemetaan seperti apa yang telah didapatkan, skema-skema intervensi apa yang akan dilakukan dan bagaimana efektivitas dari intervensi-intervensi yang dilakukan tersebut. Skema-skema intervensi ini semestinya telah disiapkan dan disosialisasikan sebelum penyelenggaraan UN. Perbaikan-perbaikan aspek teknis pelaksanaan ujian nasional, termasuk peningkatan standar kelulusan dari tahun ke tahun tidak akan bermakna tanpa kejelasan skema-skema intervensi yang didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi dengan sungguh.
Di samping itu, berbagai indikator-indikator pendidikan masih belum menegaskan kesungguhan pemerintah dalam melakukan perbaikan perbaikan. Data 2007/2008 menunjukkan persentase guru yang tidak layak mengajar adalah 77,89% (SD), 28,33% (SMP), 15,25% (SMA), dan 23,04% (SMK) (Depdiknas, 2008). Keterse-diaan perpustakaan sekolah pun masih memprihatinkan. Contohnya: secara nasional, hanya 60,02% SMP di Indonesia yang telah memiliki perpustakaan sekolah. Namun, bila data tersebut dilihat lebih rinci, gambaran ketimpangan sarana pendidikan di Tanah Air semakin menye-sakkan dada. Di Kalimantan Selatan, misalnya.
Comments |
|
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...