Page 5 of 6
Berkaca dari pengalaman Filandia, yang dinobatkan sebagai negara terbaik sistem pendidikannya, Andi Aji Saputro (2007) menuturkan bahwa siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini membantu siswa belajar bertanggung jawab atas pekerjaan merekasendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia.Dan kalau mereka bertanggungjawab mereka akan bekeja lebih bebas. Guru tidak harus selalu mengontrol mereka.Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Di sini guru tidak mengajar dengan metode ceramah, Kata Tuomas Siltala, salah seorang siswa sekolah menengah. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan, sambungnya. Siswa yang lambat mendapat dukungan yang intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD. Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha. Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap
dirinya masing-masing.
Ketiga, kualitas guru. Fuad Fachruddin (2008) mengatakan bahwa mutu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari mutu guru. Dalam artikelnya beliau kemudian mengatakan bahwa guru bermutu adalah guru efektif dan reflektif. Guru efektif adalah mereka yang mampu mencapai tujuan yang ditetapkan oleh dirinya sendiri untuk orang lain. Dengan demikian guru efektif harus memiliki dan secara tepat mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari suatu proses pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seorang guru adalah kompetensi, sedangkan kemampuan menggunakan pengetahuan dan keterampilan dalam proses pembelajaran di kelas merupakan performansi guru. Karena itu, efektivitas guru harus dipahami dalam konteks hubungan antara kompetensi guru dan performansi guru dengan pencapaian tujuan. Seorang guru efektif dapat dipahami dari beberapa dimensi, antara lain (a) profesionalitas; sebuah komitmen dalam menjalankan fungsi agar peserta didik berhasil, percaya diri, selalu siap menghadapi tantangan, amanah, serta menghargai keragaman anak didik; (b) kemampuan berpikir secara analitik dan konseptual; (c) memiliki dorongan kuat untuk melakukan perbaikan, keingintahuan yang tinggi (curiosity) dan inisiatif; serta (d) leadership; kemampuan sekaligus keterampilan seorang guru untuk memimpin sekaligus bertanggung jawab, serta memiliki antusiasme terhadap keseluruhan proses pembelajaran yang mandiri dan efektif (Anderson, 2004).
Sedangkan guru reflektif adalah seorang guru yang mampu untuk dapat melakukan proses pembelajaran yang tidak harus diterjemahkan sebagai transfer pengetahuan semata, melainkan seorang guru diharapkan mampu mentransmisi keterampilan tingkat tinggi pada peserta didik, termasuk membangun motivasi belajar, kreativitas, dan kerja sama. Selain itu, keberhasilan guru tidak hanya didasarkan pada prinsip-prinsip efektivitas pengajaran, namun pertimbangan norma dan etika juga patut diperhatikan.
Dalam bahasa sederhana, bagaimana seorang guru dapat mengajar dengan menggunakan sekaligus akal dan hatinya, serta rasa yang memungkinkan guru memahami apa yang tepat dilakukan untuk pesertadidik sebagai kelompok dan individu yang memiliki keunikan dan beragam talenta (van Manen, 1987). Seorang guru reflektif dipandang memiliki ciri pengetahuan, keterampilan profesional, dan karakter atau cara pandang yang diperlukan untuk mengajar peserta didik secara efektif dalam masyarakat majemuk dan global. Untuk itu, berpikir reflektif sebagai alat pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan sangat dibutuhkan seorang guru.
Kemampuan berpikir reflektif akan mendorong seorang guru dalam memahami siapa kita dan kapan kita harus bertindak. Karena itu, seorang guru yang baik adalah guru yang mampu melakukan refleksi terhadap setiap proses pembelajaran yang dijalaninya, serta secara konsisten memikirkan landasan-landasan dan model pembelajaran di kelas maupun di luar kelas yang sesuai dengan bakat dan minat peserta didik. Dialog antara seorang guru reflektif dan dirinya sendiri merupakan modal untuk melakukan evaluasi pembelajaran secara efektif (Ferrow, 2000).
Seorang guru reflektif juga biasanya menggunakan pendekatan pembelajaran yang interaktif dan pendekatan pedagogical tact, sebuah kemampuan cara berpikir (state of mind) yang mencakup ketulusan dan kejujuran, serta mampu menerjemahkan makna psikologis dan sosial sebuah proses dan bentuk pembelajaran. Pendekatan ini sangat baik bagi seorang guru reflektif dalam rangka memperbaiki sekaligus memperbarui hubungan antara guru dan peserta didik dalam suatu proses pembelajaran interaktif (Manen, 1984).
Rhenald Kasali (Kompas, 27 Agustus 2007) menyebut guru seperti di atas dengan sebutan guru inspiratif. Menurut Rhelad dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui. Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama
Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan. Sayang, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...