Page 1 of 6
Dua Masalah Besar
Permasalah terbesar bangsa Indonesia, bahkan kemanusiaan pada umumnya, dalam sepanjang sejarahnya adalah masalah kemiskinan. Bahkan banyak yang meyakini bahwa kemiskinan ini telah melahir-kan ”penyakit turunannya” seperti kejahatan, kebo-dohan, pengangguran, dan penyakit sosial lainnya.
Menurut para ahli, sekarang ini kemiskinan bukan lagi sekadar masalah kesenja-ngan pendapatan (income discrepancy), tetapi lebih kompleks lagi menyangkut masalah ketidakberdayaan (incapability), ketiadaan pengetahuan dan keterampilan (lack of knowledge and skills), dan kelangkaan akses pada modal dan sumber daya (scarcity of capital and resources).
Mengapa Kemiskinan Terjadi?
Beragam pendapat untuk menjawab pertanyaan ini. Namun apabila dikelompokkan maka akan ada dua faktor determinan utama penyebab kemiskinan selain faktor bencana alam atau kemiskinan alamiah, yaitu faktor struktural dan faktor kultural.
Dalam perspektif struktural, masyarakat menjadi miskin karena mereka dimiskinkan oleh kebijakan negara yang tidak memihak kepada kaum miskin. Atau karena negara tidak bisa dan tidak mampu mengurus rakyatnya. Menurut Suswono (2008) kemiskinan terjadi karena terjadinya disfungsi negara dalam menjalankan perannya. Disfungsi yang pertama tampak dalam hal fungsi distributif negara, yakni bagaimana negara mengalokasikan sumberdaya, anggaran, kesempatan ekonomi secara adil. Mestinya, dengan fungsi distributifnya, negara berkewajiban dalam membantu mereka-mereka yang termarjinalkan oleh mekanisme pasar dalam kehidupan ekonomi yang terjadi. Fenomena kemiskinan ekstrem dalam bentuk busung lapar dan kelaparan adalah sebuah cerminan kegagalan negara dalam mewujudkan fungsi distributifnya. Disfungsi yang kedua adalah disfungsi stabilitataif, yang mana negara tidak berhasil dalam menstabilkan perekonomian secara keseluruhan. Selain kelaparan dan kemiskinan absolut, masalah pengangguran juga merupakan contoh dari disfungsi negara yang kedua ini.
Pendapat Suswono di atas banyak diamini atau senada dengan para pakar lain yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari ketidakadilan negara dalam memperlakukan rakyatnya. Sri-Edi Swasono (2008) mencontohkan dalam pemberian kredit untuk para pengusaha kecil yang dinilainya sangat diskriminatif sehingga dia mengatakan tidak ada bedanya dengan ”cultuurstelsel” yang teradi pada zaman kolonial. Sukardi Hasan (2008) juga memberikan sebuah ilustrasi tentang disfungsi distributif negara dengan menyodorkan sebuah data bahwa terdapat disparitas yang teramat tajam dalam hal pengelolaa sumber daya alam (SDA). Sistem ekonomi yang kapitalistis ini telah membuat 80% kekayaan alam hanya dikuasai oleh 20% orang, sedangkan 20% saisanya harus diperebutkan oleh 80% rakyat. Dia juga menambahkan bahwa kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang, tetapi uang yang ada tidak sampai kepada orang-orang miskin.
Dalam pandangan budaya, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya kapabilas masyarakat yang diakibatkan budaya masyarakat tertentu, misalnya rasa malas, tidak produktif, ketergantungan pada orang lain, dan kebodohan. Secara Kultural, kemiskinan juga disebabkan pandangan dunia yang keliru, yang dipengaruhi pemahaman nilai-nilai agama yang pasif dan fatalistik. Doktrin takdir bahwa Tuhan telah menentukan segalanya sejak setiap manusia diciptakan, termasuk kaya-miskin, status sosial, kecerdasan, membelenggu mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan agama yang mencerahkan. Gambaran kemiskinan dari perspektif kultural lebih jelas lagi dikemukakan oleh Devereux (dikutip dari Teddy Lesmana, 2008). Beliau mengatakan bahwa ada tiga determinan penyebab kemiskinan. Pertama, produktivitas yang rendah menyebabkan rendahnya upah kerja yang diterima dan rendahnya hasil dari input produktif lainnya. Kedua, kerentanan (vulnerability), yakni situasi di mana risiko dan konsekuansi akibat turunnya pendapatan dan konsumsi. Ketiga, ketergantungan (depedency), yakni ketidakmampuan menghasilkan pendapatan secara independen karena ketidakmampuan bekerja. Dalam perspektif budaya ini, ternyata bahwa akar dari kemiskinan sejatinya bukan sekadar persoalan ekonomi belaka.
Menurut penulis, faktor budaya inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya tragedi kemiskinan dalam suatu masyarakat. Apabila kapabilitas masyarkatnya tinggi akan dengan mudah untuk melakukan resistensi atau perlawanan terhadap ketidak- adilan struktural. Bukankan dalam Kitab Suci difirmankan bahwa ” Allah tidak akan mengubah suatu kaum, kalau kaum itu tidak mau mengubah dirinya sndiri”. Semua perubahan berawal dari perubahan individu terlebih dahulu.
Untuk itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus diarahkan pada apa yang disebut Amartya Sen (1999)sebagai human capability. Elemen dasar human capability adalah pendidikan yang memainkan peranan sentral dalam mengatasi masalah kemiskinan. Dengan pendidikan yang baik, setiap orang memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan, mempunyai pilihan untuk mendapat pekerjaan, dan menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Dengan demikian pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan dan menghilangkan eksklusi sosial, untuk kemudian meningkatkan kualtias hidup dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Start your paper accomplishing and do...
ketika walikota malas baca, malas men...
minat baca rendah, jumlah penulis sed...
College students should think two tim...
There are many students who are worri...
LIPI
jurnal LIPI
Itu adalah tulisan Anda, Bapah HS Dil...
Tulisan/opini siapa ini?
Amat sangat menarik artikel tersebut ...